Hasan Al-Banna: Sang Reformer Sejati (II-Habis)

Da’wah yang Membangkitkan
Berangkat dari keprihatinannya dan keyakinannya bahwa metode ceramah di masjid saja tidak cukup untuk menyebarluaskan akidah dan fikrah Islam di tengah masyarakat, maka ia mulai melakukan pengorganisasian sekelompok mahasiswa dari Universitas Al-Azhar dan Darul Ulum yang berminat pada training penyadaran dan pelatihan da’wah, untuk kemudian diterjunkan langsung di tengah masyarakat.

Mereka melakukan pembinaan kader-kader da’wah ini di masjid-masjid. Dan ternyata, metode penyadaran ini membuahkan sukses besar di kemudian hari.

Sebab, langkah-langkah mereka dilanjutkan di tempat-tempat umum secara langsung berinteraksi dengan khalayak ramai, seperti di warung-warung kopi dan acara-acara tempat berkumpulnya masyarakat, dengan sasaran memperkokoh idealisme Islam dan menyebarluaskannya ke berbagai kalangan.

Hasan Al-Banna pun rajin membangun dialog dengan para pemuka agama dan tokoh-tokoh masyarakat. Ia berulang kali mengunjungi perpustakaan salafiyah yang dipimpin oleh Muhibuddin Al-Khatib, untuk membaca dan berdialog dengannya; bergaul dengan Rashid Ridha As-Suri yang dipandang sebagai pewaris pemikiran Muhammad Abduh serta penulis tafsir Al-Manar ; menjadikan Farid Wajdi dan Ashmad Taimur Pasha sebagai mitra dialog yang dikaguminya.

Sebab ia melihat bahwa mereka ini adalah tokoh-tokoh yang concern terhadap persoalan-persoalan Islam dan umatnya.

Upayanya untuk membangun dialog dengan berbagai kalangan akhirnya mengantarkannya berdialog dengan para ulama Al-Azhar, yang kala itu merupakan pilar-pilar pemikiran Islam. Al-Banna mengkritik perlawanan mereka yang tidak efektif dan sikap menyerah mereka terhadap arus westernisasi, missionarisasi, permisivisasi, dan hedonisasi yang telah mencabik-cabik bangunan masyarakat Muslim .

Akhirnya Al-Banna merasakan dengan sadar bahwa telah tiba saatnya untuk melakukan sesuatu dan memetakan dengan jeli berbagai persoalan dalam rangka menyamakan visi perjuangan. Ia melihat dengan jelas bahwa inilah saatnya untuk merumuskan langkah-langkah strategis guna menyelamatkan umat Islam, dan berperan nyata dalam upaya mewujudkan tujuan, misi, dan visi perjuangan.

Pada akhir masa studinya di Universitas Darul Ulum, pihak kampus meminta para mahasiswa untuk menulis makalah dengan tema: “Obsesi terbesar setelah menyelesaikan studi, dan sarana untuk mewujudkannya”.

Al-Banna mulai menulis apa yang ditugaskan oleh Fakultasnya, yang diantara cuplikannya ia menyatakan, “Aku berkeyakinan bahwa sebaik-baik jiwa adalah jiwa yang dalam memahami hakikat kebahagiaan, tolok ukurnya adalah sejauh mana ia dapat membahagiakan umat manusia dan dapat memberikan bimbingan kepada mereka.

Adapun perasaan gembira juga tergantung pada sejauh mana ia mampu menggembirakan mereka dan memberikan perlindungan kepadanya. Berkorban dalam rangka melakukan ishlah (reformasi, perbaikan) yang menyeluruh akan dihitung sebagai keuntungan dan ghanimah. Berjihad di jalan yang benar dan berhidayah –sekalipun sangat terjal dan banyak kesulitan yang harus dihadapi- merupakan hiburan dan kenikmatan sejati.”

“Aku berkeyakinan bahwa tujuan tertinggi yang wajib dituju oleh setiap insan dan merupakan keuntungan terbesar yang harus diraih adalah ridha Allah swt. Dengan itulah Dia akan memasukkannya ke dalam ‘pekarangan suci’-Nya, menyandangkan padanya ‘selendang’ kelembutan-Nya, serta menjauhkannya dari adzab-Nya.

Orang yang ingin meraih tujuan ini, di hadapannya terdapat dua jalan, yang masing-masing memiliki karakter dan keistimewaan. Ia dapat menempuh jalan mana saja yang dikehendaki.



Pertama, jalan tasawuf yang benar, yang tercermin dalam sikap ikhlas dan amal, serta memalingkan hati dari kesibukan dengan sesama makhluk, yang baik maupun yang buruk. Jalan ini lebih dekat dan lebih selamat.

Kedua, jalan ta’lim (pendidikan) dan irsyad (bimbingan) –yang sama seperti di atas- dalam hal sikap ikhlas dan amal, namun berbeda dalam hal bergaul dengan orang lain, mempelajari keadaan mereka, memahami perkumpulan-perkumpulan mereka, serta mencari tahu terapi macam apa yang mujarab untuk mengobati penyakit-penyakit yang tengah menghinggapi umat.

Ini lebih mulia dan lebih agung, karena Al-Qur’an menyarankannya dan Rasul pun menyatakan keutamaannya. Yang kedua ini lebih tepat, setelah aku menempuh jalan yang pertama, karena kemanfaatannya yang berlipat ganda dan keutamannya yang agung.”

Di antara kedua jalan di atas, jalan kedua inilah yang lebih wajib bagi para muta’allim (penuntut ilmu) dan yang terbaik pula bagi yang sudah ‘alim (berilmu).

‘Agar mereka dapat memberikan peringatan kepada kaumnya ketika mereka kembali ke tengah-tengah mereka, sehingga kaum itu menjadi berhati-hati.’ (At-Taubah : 122)”

“Aku berkeyakinan bahwa umatku –lantaran pergolakan politik yang menimpanya, pergeseran nilai-nilai sosial, serta pengaruh peradaban Barat, westernisme, materialisme, serta tradisi Eropa- menjadi jauh dari kehendak agama mereka dan tujuan Kitab mereka, lupa terhadap kemuliaan dan keagungan generasi sebelum mereka dan lupa terhadap peninggalan para pendahulu mereka. Akibatnya agama yang benar ini tercemari oleh nilai-nilai ideologi lain yang gelap dan asing. Hakikat agama yang putih cemerlang telah tertutup dari pandangan mereka. Demikian pula dengan nilai-nilai pendidikan dan pengajaran yang lurus tertutupi oleh tirai kerancuan dan kepalsuan yang dilatari oleh berbagai pemikiran aneh. Akhirnya, umat yang awam pun terperosok ke dalam gelapnya kebodohan. Para pemuda dan kaum berilmu juga tersesat dalam lembah kebingungan dan keragu-raguan, yang akibatnya mereka mewarisi aqidah yang rusak, mengalami skeptisisme dan kehampaan spiritual, dan keimanan bergeser menjadi kekufuran.”

“Aku juga berkeyakinan bahwa jiwa manusia pada hakikatnya penuh dengan cinta. Ia harus memiliki arah yang menjadi labuhan bagi curahan cintanya. Saya tidak melihat seorang pun yang lebih mulia dari emosi cintaku selain seorang sahabat yang ruhnya menyatu dengan ruhku, sehingga dengan sepenuh hati kuberikan cintaku padanya, dan kuutamakan ia untuk menerima persahabatanku ini.”

Al-Banna memandang bahwa untuk menyikapi kondisi seperti ini, misi utamanya adalah membalikkan arus negatif ini. Untuk mewujudkan itu ia harus menjadi guru, pendidik, dan da’i; berkhidmat membina para remaja di siang hari dan para orangtua mereka di malam hari. Dengan demikian ia dapat menyampaikan tujuan-tujuan agama kepada mereka semua, sebagai sumber kebahagiaan dan kesejahteraan dalam hidup mereka.

Awal Berdirinya Al-Ikhwan Al-Muslimun
Hasan Al-Banna membulatkan tekadnya. Di tengah kesulitan dan tribulasi yang menghadangnya, tokoh muda yang menakjubkan ini mulai berpergian ke berbagai kota dan desa-desa di seluruh penjuru Mesir untuk berda’wah dan melakukan pembinaan. Sekitar tiga ribu dari empat ribu desa di seluruh Mesir telah ia masuki.

Dan selama kurang lebih dua puluh tahun, ia berupaya keras membangun kembali puing-puing masyarakat yang hancur oleh penjajahan budaya dan militer dan menghembuskan ruh kehidupan baru pada tubuh yang tak berdaya itu.

Di tengah kesibukannya berda’wah, ia senantiasa tetap menjalin hubungan dengan kelompok-kelompok Islam, para tokoh, ulama, dan juga sahabat-sahabatnya yang telah berikrar bersama untuk berkhidmat pada misi Islam. Organisasi Pemuda Muslim memperoleh perhatian yang istimewa darinya, sebab ia ikut membantu pembentukan-nya pada tahun 1927, menjelang kelulusannya sebagai sarjana pada tahun yang sama.

Tetapi karena ia tidak melihat pada organisasi ini adanya pandangan yang luas dalam menatap persoalan umat, maka setahun kemudian, tepatnya pada Dzulqa’dah 1347 H atau Maret 1928, Al-Banna beserta enam orang sahabatnya mengumumkan secara resmi berdirinya jama’ah Al-Ikhwan Al-Muslimun. Bertepatan dengan usianya yang 22 tahun!

Ini memang sebuah misi yang menuntut kerja keras dan pengorbanan bagi setiap anggota atau kadernya, kajian dan pemahaman yang mendalam, disamping stamina yang mampu menghadapi ujian fisik dan mental, sementara jiwanya digadaikan untuk Allah.

Tekad Al-Banna telah membaja, hingga ia mengatakan, “Ini adalah perjanjian antara diriku dengan Tuhanku. Aku bersumpah pada diriku sendiri dan disaksikan oleh sahabatku dalam kesendirian yang hanya dapat dirasakan oleh perasaanku, dan diwaktu malam hening yang hanya diketahui oleh Dzat yang Maha Mengetahui...

‘Barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberinya pahala yang besar.’ (QS.Al-Fath: 10)”.

Perjuangannya memang spektakuler. Di tengah hantaman badai dan gelombang ujian dahsyat yang menimpa dirinya dan para kadernya secara bertubi-tubi, jama’ahnya tumbuh dan berkembang menjadi sebuah gerakan Islam modern terbesar di dunia.

Eksistensi gerakan ini semakin meluas dengan jumlah kader dan pendukung gerakan ini terus bertambah di berbagai belahan dunia Islam dan Arab. Bahkan juga di luar negeri-negeri Islam seperti Eropa, Amerika, Afrika, Asia Timur dan Tenggara, Australia, dan negeri-negeri lainnya.

Organisasi cabangnya yang telah berdiri secara resmi ada di 80 negara. Sementara, eksistensi gerakan Al-Ikhwan ini ada di sekitar 120 negara di 5 benua.

Belum lagi, gerakan-gerakan Islam lain di dunia ini yang menjadikan gerakan Al-Ikhwan sebagai model, dan manhaj da’wah-nya sebagai rujukan, demikian banyak. Juga tulisan-tulisan dan kitab-kitab ilmiah karya para pemikir dan kader-kader Al-Ikhwan yang menjadi bahan bacaan dan acuan para akademisi dan aktivis da’wah di seluruh dunia yang membanjiri toko-toko buku dan perpustakaan.

Dalam mensifati gerakannya, Al-Banna mengungkapkan dalam risalahnya Al-Ikhwan tahta Rayat Al-Qur’an sebagai berikut : “Kami bukanlah sebuah partai politik, meskipun politik berdasar kaidah-kaidah Islam ada dalam pemikiran kami. Kami bukanlah organisasi sosial yang reformis, meskipun kegiatan amal dan reformasi merupakan tujuan kami yang paling utama. Kami bukanlah klub olah raga, meskipun olah raga merupakan salah satu program wajib kami. Kami bukanlah bentuk-bentuk perhimpunan seperti itu, sebab semuanya bersifat temporer dan terbatas, yang kadang-kadang dibentuk hanya sekedar keinginan memperoleh sesuatu saja. Sedangkan kami wahai sekalian manusia- adalah sebuah fikrah dan aqidah, sistem dan jalan hidup yang tidak dibatasi oleh wilayah geografis dan diikat oleh etnis, dan tidak sirna karena diterpa persoalan, hingga Allah mewariskan bumi ini dan seisinya. Sebab, ia adalah sistem dan manhaj buatan Rabb semesta alam, dan jalan yang ditempuh Rasul-Nya yang amanah. Kami –bukan untuk berbangga- adalah para sahabat Rasulullah dan pembawa panji-Nya setelah mereka, pengibar bendera seperti mereka, penyebar agama seperti mereka, pemelihara Al-Qur’an seperti mereka, pelaku da’wah seperti mereka, dn rahmat Allah bagi seluruh alam. ‘Dan sungguh kalian akan mengetahui (kebenaran) berita Al-Qur’an beberapa waktu yang tak lama lagi.’ (QS.Shad: 88).”

Demikianlah Imam Hasan Al-Banna menginginkan gerakan da’wahnya bukan sekedar formalitas organisasional, melainkan sebuah gerakan Islam yang positif yang mampu menghadirkan kembali spirit dan semangat para sahabat Nabi ke abad kini.

Dalam perjalanannya pun Hasan Albana turut memperjuangakan kemerdekaan Indonesia dengan menggalang dukungan ulama-ulama dunia dan melakukan silaturahmi dengan ulama-ulama Indonesia



Kini, di awal abad dua puluh satu, umat Islam sedunia membutuhkan “Al-Banna”baru untuk membangkitkan spirit dan moralitas umat agar mampu menghadapi terpaan dahsyat “The Fourth Wave”, yang dapat meluluh-lantakkan ideologi dan idealisme luhur setiap muslim, dan tampil sebagai pemenang. Wallahu a’lam bish-shawwab.(Syamsul Balda)


comment 0 komentar:

Posting Komentar

Delete this element to display blogger navbar

 
© 1432 H/2011 M DKM Al-Mujtahid | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger